Subjek pertama yang akan dirangkum dalam artikel ini adalah seputar konteks Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Penghapusan Keterbukaan Informasi Publik. Selain penegasan bahwa Undang-Undang No.14/2008 tetap akan berlaku, peraturan baru ini telah menghapuskan beberapa pasal dalam UU tersebut dan juga beberapa regulasi lainnya terkait hal tersebut. Dalam sebuah konferensi pers, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa perubahan itu dilakukan agar lebih fokus pada mengoptimalkan pengawasan guna mencegah adanya penyalahgunaan.
Namun demikian, kebijakan baru tersebut menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat sipil seperti Komnas HAM, LBH Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), hingga Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Menurut mereka, perubahan atas undang-undang transparansi haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga akses masyarakat terhadap informasi publik dapat ditingkatkan, bukan malah dikurangi. Bahkan, penelitian dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir saja, angka keluhan masyarakat atas akses terhadap informasi publik meningkat hingga 45%.
Subjek berikutnya yang akan dibahas adalah kritik lebih rinci atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Penghapusan Keterbukaan Informasi Publik. Salah satu hal yang sangat disayangkan adalah penghilangan kewajiban bagi lembaga pemerintah untuk menyediakan akses ke dokumen-dokumen penting. Berbagai kelompok masyarakat sipil menilai bahwa ketentuan ini sangat merugikan dan bahkan melanggar hak asasi manusia sebab akan mempersulit upaya untuk memperoleh informasi publik yang benar-benar berkaitan dengan kepentingan publik.
Beberapa klausul lainnya yang menuai kontroversi termasuk penghapusan sanksi pidana bagi pejabat pemerintah atau swasta yang tidak mengindahkan peraturan transparansi dan juga perubahan batasan waktu untuk merevisi data-data publik dari tiga hari menjadi lima hari kerja. Ditambah lagi, keterbatasan akses pada dokumen-dokumen tertentu seperti surat pribadi justru makin memaksa para aktivis dan jurnalis menggunakan undang-undang tentang privasi—yang sendiri-sendi tidak sempurna—untuk mendapatkan informasi penting.
Namun demikian, pemerintah tetap menegaskan bahwa perubahan dalam undang-undang tersebut tidak akan mengganggu transparansi dan akuntabilitas. Bahkan, Halaman Website Keterbukaan Informasi Publik Pemerintah (e-PPID) diklaim tetap dapat diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Tantangan terbesar kini adalah bagaimana mengoptimalkan e-PPID agar menjadi sumber informasi yang lebih terbuka dan mudah dicerna oleh masyarakat secara luas.
Dengan adanya penghapusan kewajiban bagi lembaga pemerintah untuk menyediakan akses ke dokumen-dokumen penting, berbagai LSM dan aktivis berkembang di seluruh negeri dari Aceh hingga Papua yang menilai bahwa reformasi sistem transparansi masih harus terus dilakukan. Terpenting adalah upaya untuk memperjuangkan hak akses pada informasi publik yang lebih terbuka sesuai dengan norma-norma demokratis yang berlaku. Oleh karena itu, satu-satunya jalur utama saat ini adalah melalui dunia maya sebagai platform komunikasi dan upaya bersama bagi semua kalangan ataupun LSM yang peduli dengan problematika tersebut.