Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan pandangan yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, khususnya filsafat, terdapat nilai yang sangat penting yang sering kali diabaikan. Filsafat bukanlah sekadar pelajaran yang membosankan, melainkan sebuah alat untuk membantu individu memahami realitas dan menentukan sikap dalam menjalani kehidupan. Hal ini menjadi lebih relevan ketika dikaitkan dengan pernyataan Habib Jafar mengenai perlunya seseorang untuk tidak berpura-pura miskin, namun harus berusaha mendalami filsafat agar tidak menjadi bego dalam memahami tujuan hidup.
Filsafat mengajarkan kita untuk berpikir kritis dan analitis. Ketika seseorang diminta untuk belajar filsafat oleh orang tuanya, seperti yang diungkapkan dalam konteks ini, itu berarti orang tua tersebut ingin anaknya tidak menjadi individu yang mudah terperdaya oleh ilusi atau pemikiran yang sederhana. Memahami filsafat melatih kemampuan berpikir yang lebih dalam, sehingga individu dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang relevan dan mana yang tidak. Dengan demikian, belajar filsafat bukan hanya sekadar kewajiban akademis, melainkan juga sebuah tanggung jawab moral dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks.
Sering kali kita mendapati orang-orang di sekitar kita yang berperilaku seolah-olah hidup dalam suatu kostum, berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya. Habib Jafar menyebutkan hal ini sebagai “cosplay jadi orang miskin.” Hal ini merefleksikan fenomena sosial yang dapat kita jumpai, di mana individu tertentu memilih untuk menampilkan diri dalam kondisi yang tidak sebenarnya demi mendapatkan simpati atau pengakuan dari orang lain. Ini adalah pola yang tidak sehat, dan lebih jauh lagi menunjukkan ketidakmampuan individu tersebut dalam mengenali dan menerima diri sendiri.
Di sinilah pentingnya pembelajaran filsafat. Filsafat mendorong kita untuk memahami fakta-fakta dengan lebih jelas. Ketika seseorang belajar filsafat, ia akan diajarkan untuk mempertanyakan segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya terbatas pada persoalan akademis, tetapi juga menyangkut identitas dan keberadaan kita sebagai manusia. Mengapa kita berpura-pura? Apa yang mendorong kita untuk merasa tidak puas dengan siapa diri kita? Pembelajaran filsafat berperan sebagai jembatan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat sering kali terjebak dalam kebiasaan dan norma yang telah ada. Hal ini mendorong pembentukan pola pikir yang tidak kritis. Ketidakmampuan untuk mempertanyakan segala sesuatu dapat mengarah pada perilaku yang buntu dan statis. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk dibekali dengan alat berpikir yang memadai, salah satunya melalui filsafat. Diajarkan untuk berpikir kritis, anak akan mampu melihat dunia dari berbagai perspektif dan menyusun argumen dengan lebih logis.
Filsafat juga mendorong pengembangan empati. Dengan belajar tentang pemikiran dan ide-ide orang lain, kita diajak untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Memahami posisi orang lain membuat kita tidak hanya terjebak dalam dunia kita sendiri, melainkan mampu mengapresiasi kompleksitas kehidupan yang ada di luar sana. Dalam konteks Habib Jafar, pentingnya pemahaman ini menjadi landasan untuk tidak hanya menghindari perilaku berpura-pura tetapi juga membangun sikap saling menghargai antar sesama.
Adalah harapan bahwa dengan mempelajari filsafat, individu dapat bertransformasi menjadi pribadi yang lebih mandiri dan peka terhadap realita kehidupan di sekitarnya. Mereka tidak hanya sekadar mengikuti arus, tetapi dapat menentukan pilihan dengan bijaksana. Kita hidup dalam zaman di mana informasi berlimpah, tetapi tidak semuanya akurat dan bermanfaat. Oleh karena itu, bekal berpikir kritis yang diperoleh dari pembelajaran filsafat akan sangat berharga dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman modern ini.
Sebagai penutup, meminta anak untuk belajar filsafat bukanlah bentuk paksaan, melainkan suatu amanah yang harus dipahami dengan baik. Ini adalah sebuah dorongan untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memahami diri sendiri dan lingkungan, dan tidak terjebak dalam ketidakpastian. Mari kita menggandeng filsafat sebagai alat untuk mengelola tantangan hidup, sehingga kita tidak perlu lagi berperilaku ‘cosplay’ sebagai orang lain, melainkan melangkah dengan keyakinan sebagai diri kita sendiri. Filsafat bukan hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membekali kita dengan kearifan untuk menjalani hidup yang berarti.